Selasa, 17 November 2015

Arjuna Delano...Dia Itu Ada Di Dunia Nyata


Dalam Pencarian (Novel Morning Dew and The Togetherness We Share, Elexmedia, page 37)

I wrote this for my prettiest friend
But while trying not to prove that I care
I was trying not to make all my moves in one motion and scare her away
She can't see she's making me crazy now
I don't believe she knows she's amazing how
She has holding my breath
So I'd never guess that I'm a nonesuch unsuitable, suitor for her.
(Jason Mraz - Prettiest Friend)

Terlambat lagi. Maunya apa sih ini anak satu. Baru gabung di tim malah kebanyakan tingkah. Awas saja kalau minggu depan terlambat lagi dengan alasan yang sama, macet dan kesiangan. Selesai latihan nanti akan kutegur dia.



“Sebenarnya masalah kamu apa sih?” tanyaku pada seorang gadis dengan rambut ala ponytail. Ia sedang berdiri seorang diri di depan pintu GOR. Latihan baru selesai sekitar 15 menit lalu.
            Tasya berbalik badan. Ia tampak kaget saat melihatku. Raut wajahnya menegang. “Ma...maaf, kak?”
            Aku menarik nafas panjang. Lalu menghembuskannya berat. Tadi aku sedekat itu dengannya tetapi ia tidak mendengar? Jangan-jangan ini masalahnya. Ada masalah dengan pendengarannya. Jadi alarm pagi yang dipasang setiap pagi selalu gagal membangunkannya. Kemudian terlambat sampai sini.  
            “Tadi kakak tanya, sebenarnya apa sih masalah kamu sehingga terlambat terus datang latihan?”
            Tasya menggaruk-garuk kepalanya. Rambutnya terlihat masih kuyup oleh keringat. Gugup sekali ia kelihatannya. “I...itu kak. Kan aku udah bilang kemarin, macet.”
            “Hanya macet? Memangnya kamu nggak bisa berangkat lebih pagi. Jam 6, misalnya? Dua jam sebelum latihan.”
            Tasya menggigit bibir bawahnya. Kedua matanya bolak balik melihat ke segala arah. Sebentar menengadah ke loteng. Lalu ke lantai. Dan berpindah lagi ke jam tangan. “Tasya!”
            “Eh i...iya, kak?”
            Lalu ia melanjutkan lagi kata-katanya. “Aku kalau jalan jam setengah delapan, kak. Hehe.”
            Tanpa sadar kini aku bertolak pinggang. Pantas saja terlambat. Minggu pagi akses menuju Jalan Padjajaran tidak bisa diprediksi. Semua kendaraan juga para pengguna jalan di sisi kanan kiri jalan seolah berlomba-lomba ingin menuju ke arah yang sama.
            “Kenapa gitu berangkatnya dekat banget sama waktu latihan?”
            “Karena...habis sholat subuh, biasanya aku buka-buka laptop terus lama kelamaan ketiduran.” Tasya mengucapkannya dengan nada yang makin lama makin menurun. “Ta...tapi biasanya nggak gitu lho kak. Nggak tahu deh, sejak banyak kegiatan di kampus sampai hari Sabtu kadang pulang malam. Besok paginya jadi masih ngantuk. Pas bangun udah jam 7 kurang. Siap-siap terus sarapan. Tahu-tahu di jalan kena macet. Sampai sini udah setengah sembilan, kak.”
            Kuberi tahu ia bahwa ini soal schedule harian dan komitmen terhadap apa yang menjadi kewajibannya. “Kalau kamu udah tahu mana yang jadi skala prioritas, otomatis kamu juga bisa menakar ketahanan fisik. Dan yang paling penting komitmen yang dijaga. Latihan bulu tangkis ini meskipun kelihatannya sepele tapi kalau ditekuni someday bisa jadi profesi yang menyenangkan lho.”
            “Oh ya? Kayak yang kakak lakuin saat ini, jadi pelatih bulu tangkis? Atau atlet profesional gitu?”
            Sejujurnya aku sangat tidak suka jika sedang bicara lalu dipotong oleh orang lain. Tapi...Tasya ini beda ya. Nggemesin. Rasa ingin tahunya sangat tinggi. Bikin aku bicara terus tanpa henti.
            “Bisa dibilang gitu. Kamu sendiri ikut klub buat apa? Apa buat gaya aja atau cita-cita pengin jadi atlet?”
            Tasya terdiam. Nada bicaraku tadi mungkin sudah menyinggung perasaannya. Mungkin dia tidak sama dengan teman-teman perempuannya yang lain. Yang ikut klub hanya untuk menemani pacarnya atau buat gaya saja.
            “Aku suka main badminton di rumah. Itu aja sih.”
            Hening. Cukup lama. Tasya lalu sibuk dengan ponselnya. “Ya udah, Tasya. Kakak duluan ya. Oh iya, pin bb kamu berapa ya?”
            Tasya mengangkat wajahnya. Matanya mengerjap cepat beberapa kali. “Ya, kak?”
            “Pin kamu berapa? Biar minggu depan kamu bisa kakak bangunin supaya nggak telat lagi.”
            Kenapa aku ini. Ini bukan Arjuna biasanya. Tidak pernah dalam kamusku meminta pin blackberry murid duluan. Perempuan lagi.
            Setelah bertukar pin, aku langsung melesat ke mobil meninggalkan Tasya sendirian di depan GOR. 
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Tokoh Arjuna Delano (AD) ini sebetulnya terbentuk setelah Ulfah bertemu dengan 3 orang. Mereka adalah laki-laki dengan kepribadian yang 'cantik'. Menurut Ulfah lho ya... :) 
Arjuna Delano secara fisik (tinggi, hitam manis, berlesung pipi dalam, berwajah tegas) adalah salah seorang teman kakak yang Ulfah temui di salah satu mal daerah Senayan, Jakarta. Ia memperhatikan Ulfah secara detil yang serta merta membuat Ulfah malu dan langsung menunduk. Saat kakak memperkenalkan perempuan bertubuh mungil, berkerudung instan ungu, dan agak kikuk norak ini (padahal biasanya nggak gini lho-duh), si Arjuna mengulurkan tangan kanannya. Senyum manis ditambah lesung pipi dalamnya itu bikin terpesona. Ulfah lalu menangkupkan kedua tangan di depan dada sambil tersenyum seadanya. Dia pun langsung mengerti bahwa Ulfah tak ingin ada kontak fisik. Ia lalu sibuk berbicara dengan kakak. Dan Ulfah sibuk lihat-lihat di tokonya. Belakangan Ulfah tahu dari kakak, kalau temannya yang berkulit hitam manis ini seorang family man yang sayang banget sama ibunya.
Arjuna Delano kedua adalah seorang penyiar radio yang pernah mengobrol sama Ulfah pas On Air. Ketemu karakter AD kedua ini nggak sengaja. Waktu itu Ulfah habis dari Gramedia. Lelah kaki membuat Ulfah masuk dulu ke coffee shop. Segelas latte sudah terhidang di atas meja. Ulfah baru selesai cek buku-buku yang habis dibeli. Ceklis-ceklis cantik di buku jurnal, Ulfah lalu membuka halaman sebelumnya. Ada draft ide novel yang masih kasar banget. Beberapa tahun lalu sempat merekam ide novel Ulfah ini juga di recorder. Tentang seorang pria kesepian yang sedang menanti jodoh gitu. Pria perfect itu ya si penyiar radio yang pernah ngobrol sama Ulfah di telepon. Perfect karena usianya yang menjelang 40 tahun, ia sudah mapan, punya sahabat yang banyak, secara fisik pria idaman sekali (Ulfah pernah lihat programnya tentang otomotif di salah satu tv swasta), dan ia selalu cerita tentang cita-citanya menjadi jurnalis sukses di Jakarta dan harus meninggalkan ibunya di Salatiga. Tapi...kok ya belum menikah. Tiga kali Ulfah ditelfon sama pihak radio itu dan ngobrol soal kehidupan persahabatan dan keluarga dengannya, Ulfah menangkap he is a nice guy. Karakter AD yang mapan dan matang itu terinspirasi darinya. Sebelum menyeruput latte entah tiba-tiba nama Delano masuk ke pikiran Ulfah. 
Dan... AD yang ketiga adalah seorang pria yang sukses dengan program-program tv dan sangat sayang ayah. Ulfah bertemu dengan pria dibalik layar itu sekali saja. Waktu itu lagi antar ibu ke rumah temannya. Dan mas itu adalah anak dari teman ibuku. Selanjutnya, Ulfah nggak pernah bertemu lagi dengan mas hitam manis tinggi berwajah bulat itu. Hanya cerita tentang dirinya yang mengalir dari bibir sang ayah. Ulfah padahal beberapa kali antar ibu silaturahim ke rumah teman ibu ini. Masnya terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Pulang ke rumah orangtuanya hanya sekitar 2 bulan sekali. 

Oke deh, friends...sampai di sini dulu cerita Ulfah tentang seorang Arjuna Delano. Semoga kamu masih bisa menemukan novelnya di toko buku terdekat ya ^_^ makasiiih...

2 komentar:

  1. Waah mbak... aku penasaran sm novelnya...
    Baca tulisannya mbak ulfah bikin ngk kerasa udah di akhir paragraf.... mengalir bget

    BalasHapus
    Balasan
    1. alhamdulillah, terima kasih mbak Muthmainnah...semoga sudah punya ya novelnya... ^^

      Hapus