Minggu, 14 September 2014

Recalls Memory Si Stiker Timbul









Depok, 11 September 2014

            Pukul delapan lebih empat puluh lima. Langkah kakiku tergesa-gesa menuju tempat foto kopi yang tidak jauh dari rumah. Sampai di sana, alhamdulillah...belum tutup. Mem-print lalu mem-fotokopi materi ekskul nulis untuk 4 pekan ke depan. Ketika sedang menunggu, aku melihat-lihat pojok mainan dalam kios itu. Banyak mainan edukasi lucu-lucu banget. Dan yang nggak kalah menarik perhatianku adalah...stiker timbul aneka rupa. Ada bentuk binatang, orang, kendaraan, juga tokoh kartun. Ah, stiker itu bikin aku flashback ke tahun 2008 akhir. Dimana saat itu aku sedang menjadi close friend seorang anak berkebutuhan khusus.
            Sebetulnya aku kurang setuju jika anak laki-laki itu masuk dalam kategori anak Special Need (SN). Pasalnya ia memiliki penamilan fisik normal, respon bicaranya baik, dan ia dijuluki ‘preman sekolah’ karena memang kerjanya mengganggu ketentraman teman-teman di sekitarnya. Jangan dibayangkan ia meminta paksa uang pada teman-teman satu sekolah dan mem-bully ya, ia hanya bermain seperti biasa tetapi ujung-ujungnya agak melukai. Emosinya sulit dikendalikan. Saat berolahraga pun ia lebih sering mengacaukan. Bola basket sering dikuasainya sendiri bahkan kerap disangkutkan di ujung keranjang. Pada jam pelajaran komputer, ia lebih sering menghilang. Atau jika ada di tempat, ia menjadikan keyboard komputer seolah-olah piano dengan ditekan-tekan kasar tuts-tutsnya. Di kelas pun, ia sering mendapat label ‘ikan pesut’ karena ia lebih suka mengerjakan tugas di atas karpet ketimbang duduk bersama dengan teman sekelompoknya di bangku. Perutnya yang gendut menahan bobot tubuhnya. Lucu dan menggemaskan sebetulnya, tapi aku sangat prihatin padanya. Ia harus berubah. Tidak bisa begini terus!
            Setelah mendapat informasi dari psikolog dan gurunya di sekolah, aku baru tahu kalau ia mengalami low intelegensia. Hal ini membuat ia terlambat memahami kemampuan kognitif yang seharusnya sudah bisa dilakukannya sesuai usia teman-teman sebayanya. Semacam short-term memory syndrome. Maka, di kelas  3 SD, ia baru benar-benar bisa baca dan tulis. Meski begitu, permasalahan umum yang diangkat dari anak laki-laki bertubuh tambun menggemaskan ini adalah motivasi belajar.
            Lalu, ia dikategorikan sebagai anak SN karena di sekolahnya, sekolah inklusif, anak-anak dengan berbagai permasalahan baik kognitif maupun mental serta gangguan lainnya akan berada di bawah pengawasan satu lembaga khusus bernama LSC (Learning Support Centre). Jadi, tidak hanya anak-anak dengan autisme atau ADHD saja yang bisa dibimbing oleh LSC. Anak dengan motivasi belajar seperti anak kelas 6 ini, sebut saja namanya Arka, juga termasuk di dalamnya. Ketika aku masuk, menerima challenge dari Sang Kepala Sekolah untuk bisa membimbing anak tersebut (padahal sebelumnya akan mengajar Bahasa Inggris SD hihi), Arka hanya punya waktu 6 bulan sebelum Ujian Nasional. Whatta?!
            Senewen-lah aku dibuatnya. Arka tidak suka ia dibimbing oleh seorang Aide Teacher. Ya, itu sebutan untuk seorang guru pembimbing anak SN sepertiku. Bagi Arka, itu sama saja seperti melabeli dia dengan Special Need di belakang namanya.
            The war begins. Tubuh Arka yang besar dan hampir menyamai tinggiku kerap disenggol-senggolkan ke lenganku yang kurus. Fiuh...hampir terjatuh aku. Ia juga sering membuatku kelelahan karena harus mencari tempat persembunyiannya saat jam komputer. Di dalam kelas, aku dan kedua gurunya sudah sepakat kalau aku bukanlah Aide Teacher Arka melainkan guru bantu yang ditugasi membantu wali kelas dalam mengajar karena sang wali kelas sedang hamil. Tetap saja, Arka mencium ketidakberesan.  
            “Sono, nggak?! Aku bilang jauh-jauh!” Itu yang seing diungkapkannya ketika aku kerap memberikan kertas tugas padanya. Padahal aku sudah berpura-pura dengan membagikan kertas tugas juga pada murid lainnya. Sering dibilang gitu tuh rasanya seperti ditolak anak sendiri. Sakitnya tuh di sini (sambil nunjuk lengan yang suka disenggol Arka :p). Dari kedua matanya kulihat ia sangat butuh pertolongan namun, ia malu. Maka, aku berinisiatif mengajak Arka keluar kelas untuk bisa belajar berdua tanpa dilihat teman-temannya. Wali kelas pun meminta Arka untuk mengerjakan tugas di luar dengan alasan ia tidak mematuhi peraturan kelas dengan menulis sambil tidur-tiduran di atas karpet. Sehingga harus dihukum. Meski aku tahu wali kelasnya tidak tega melakukan itu.
            Dengan senang hati Arka melenggang keluar. Duduk di anak tangga nomor dua hanya sebentar saja. Arka lalu tiduran lagi. Aku mengikuti gayanya tiduran. Sungguh tidak nyaman seperti itu. Beruntung lantainya bersih karena memang tidak dilewati sepatu dan selalu dipel oleh petugas. Mungkin karena lemak di perutku sangat sedikit dibandingkan Arka makanya badanku kesakitan setelahnya. Hoho...Yang pasti aku hanya ingin respon dari dia gimana kalau ada orang lain yang menirukan gaya santainya itu. Tidak perlu menunggu lama, Arka bereaksi. “Ngapain sih, bu ikut tiduran segala? Cuma aku yang boleh!”
            Belum sempat kujawab, seorang guru yang terkenal suka melucu lewat. “Ya ampun Arka, Bu Ulfah sampai tiduran gitu kamu bukannya malu terus bangun malah makin menjiwai gayanya ikan pesut?”
            Arka hanya nyengir. Sudah biasa. Begitu seterusnya hari-hari yang kujalani bersama Arka. Sampai akhirnya aku menemukan ide reward and punishment sepeti yang dulu pernah diterapkan juga beberaa kali oleh kedua orangtuaku di rumah. Saat berhasil mencapai target tertentu memahami satu materi pelajaran, akan ada hadiah. Bukan hadiah besar. Namun, cukup untuk membuat poin. Dan ketika tidak sampai target alias gagal ada hadiah yang harus diambil atau harus mendapat punishment tertentu. Nggak berat sih hukumannya, salah satunya bisa seperti menghapal 5-10 kata dalam Bahasa Inggris.
            Bagi Arka, reward seperti coklat nggak menarik. Begitu juga dengan alat-alat tulis seperti pensil, pulpen, penghapus meskipun aku memilihkan bentuk yang unik-unik. Karena Arka bisa memiliki apa saja yang dia inginkan dari kedua orangtuanya. Bahkan orangtuanya bisa membelikan motor atau memberikan mobil untuk itu. Oke, baiklah... Segala bentuk reward makanan tidak akan pernah diberikan lagi. Karena khawatir Arka makin mbulet. Begitu juga dengan stationery. Tapi...apa ya sesuatu yang tidak atau mungkin belum pernah Arka miliki?
            Ada yang terjatuh saat aku mengambil buku agenda dari dalam tas. Arka memungutnya. Lalu...”Beli dimana bu stiker timbul kayak gini?” Stiker timbul biasa berbentuk mobil VW itu diperhatikannya. “Dimana ya lupa...eh tapi itu hadiah dari teman ibu ding. Kenapa memangnya, Ka?” Dia diam tak menjawab. Kemudian...*light bulb above my head*
            “Arka mau stiker kayak gitu?” Untuk pertama kalinya Arka tersenyum semanis itu. Belakangan aku baru sadar kalau ia memang sukanya pernak-pernik otomotif gitu. “Kalau Arka mau, ibu bisa kasih stiker itu tiap hari. Bentuknya nggak hanya mobil tapi juga bentuk apa aja terus ada kayak ornamennya gitu dipinggir-pinggirnya.”
            “Ornamen tu hiasan ya maksudnya?” tanya Arka. Terasa antusias ia namun tetap dalam ke-cool-annya. Aku mengangguk cepat. “Boleh deh bu, Arka mesti bayar berapa?”
            “Kamu...bayarnya pakai tugas dari sekolah. Nanti setiap tugas yang berhasil dikerjakan, kamu ambil stiker dari ibu satu lalu tempelin di buku khusus yang nanti ibu siapin. Gimana?”
            Ia berpikir cukup lama. Setengah jam ada lho. Akunya kesemutan nunggu keputusannya. Gee... “Ah, nggak mau ah bu. Nanti pasti bukunya penuh sama tulisan soal Arka yang suka tiduran-lah...suka gangguin temen-lah...suka ngumpet-lah. Ogah! Mending Arka minta ayah suruh beliin.”
            O-o...baiklah...aku mengalah. Kubilang padanya, buku itu hanya khusus menampung koleksi stikernya. Tak ada catatan apapun. Karena aku akan mencatatnya dalan jurnal tersendiri. Deal! Fiuh...lega. dan, metode reward and punishment ini cukup efektif berjalan hingga Arka lolos melewati UN dengan nilai cukup baik. Dan punishment yang didapatnya, meski cukup sering, ia semangat melakukannya. Disuruh menghapal vocabulary English. Pasalnya, ia ditantang oleh kelima kakaknya untuk bisa cuap-cuap berbahasa Inggris. Alhamdulillah. Kalau Anda sendiri, apa pernah menerapkan metode seperti ini pada anak-anak?
            “Mba...mba...mbaaaak!”
            “Eh iya, mas?”
            “Bengong aja nih mbaknya. Ini udah fotokopiannya.” Ucap tukang fotokopi sambil menyodorkan beberapa lembar kertas.
            Aku menerimanya sambil meminta diambilkan stiker timbul yang paling pojok. Rencananya sriker itu akan jadi rewards buat anak-anak ekskul menulis di sebuah Sekolah Dasar Integral di daerah Cilodong. :)
           

Senin, 08 September 2014

Cerita Dibalik Novel Morning Dew and the Togetherness We Share




Aku ingat ketika draft naskah novel ini teronggok dalam komputer kesayangan. Saat itu awal Desember 2011. Ide novel ini tercetus jauh sebelum itu. Akibat imajiku yang bermain mungkin di suatu tempat ada seseorang duduk bersimpuh di atas sajadah dengan harapan penuh di dada memohon kesembuhan penyakitnya di dinginnya dini hari. Kesembuhan untuk sebuah penyakit langka.
            Lalu, Allah menggiring imajiku itu ke sebuah note dalam Facebook. Note yang tidak sengaja kutemukan saat sedang mencari pertemanan baru untuk link menulis. Note itu bercerita tentang kisah seorang IS (inisial) yang mengalami penyakit langka bernama Myasthenia Grafis. Sebuah nama yang bila mendengarnya aku jadi membayangkan tentang pelajaran Informatika di kampus. Membaca note itu membuatku betah. Sampai di akhir kalimat, kedua sisi pipiku sudah basah. Tak ada lagi embun di mataku. Karena embun itu sudah meluncur pergi dari sarangnya. Aku menutup mulut dengan tangan kanan seraya membayangkan perjuangan berat yang dilakukan oleh Mbak IS. Masya Allah...ia wanita pilihan Allah. Kalau bukan karena kasih sayang-Nya tidak mungkin Allah memberikan ujian seberat itu.
            Tidak hanya harus bergulat dengan MG, mbak IS juga harus menelan pil pahit karena ditinggalkan oleh calon suaminya. Jauh sebelum punya niatan tuk menjadi suaminya, pacar mbak IS sudah mengetahui bahwa ia mengalami sakit ini. Ketika tinggal menunggu pekan demi pekan menuju pelaminan, calon suaminya pergi begitu saja dan tak pernah kembali lagi. Setelah itu, Allah Yang Maha Penyayang mengujinya lagi dengan diambilnya sang sahabat dari sisinya. Sahabat Mbak IS meninggal dunia akibat kecelakaan.
            Beberapa hari setelah membaca note itu, bertambah-tambahlah rasa penasaranku. Seperti apa MG itu? Apa penyebabnya? Dan siapa saja yang beresiko terkena Myasthenia Gravis? Maka, jemariku menguasai keyboard komputer dan mulai mencari di Google. Hingga akhirnya aku ‘kecemplung’ di grup FB Myasthenia Gravis Indonesia. Beberapa dokumen tentang penyakit ini tersedia di sana. Sejumlah kesimpulan kudapatkan.
            Myasthenia Gravis/Miastenia Gravis (MG) adalah suatu penyakit yang bermanifestasi sebagai kelemahan dan kelelahan otot yang bersifat progresif (gejala semakin nyata dari waktu ke waktu), dimulai dari otot mata dan berlanjut keseluruh tubuh hingga ke otot pernapasan.
Myastenia gravis terjadi secara autoimun. Secara mudah, autoimun berarti antibodi yang bekerja dengan salah sasaran. Seharusnya antibodi bekerja melawan benda asing seperti bakteri, virus, atau parasit yang masuk ke dalam tubuh. Namun pada kasus autoimun, yang dilawan oleh antibodi adalah bagian dari tubuh itu sendiri, sehingga mengakibatkan kerusakan pada bagian tubuh yang diserang. Dalam kasus MG, yang diserang oleh antibodi adalah sambungan antara saraf dan ujung otot (neuromuskular junction/NMJ). Dimana pada sambungan tersebut terdapat zat yang bertugas sebagai 'perantara' komunikasi antara saraf dengan otot yang bernama asetilkolin. Pada MG, karena mekanisme autoimun tadi, asetilkolin dirusak dan reseptornya pun dihalangi (antara asetilkolin dengan reseptornya analoginya adalah 'kunci dengan lubang kunci').
Hasilnya? Ketika ada 'order' atau 'perintah' dari otak kepada otot untuk bergerak, perintah akan diteruskan oleh saraf menuju otot, tetapi oleh karena sambungannya rusak, maka otot tidak mampu berkontraksi sesuai dengan perintah.
            Oya, sebagai tambahan info, dalam tubuh kita terdapat 3 jenis otot, yaitu otot lurik, otot polos dan otot jantung. Otot lurik adalah otot yang gerakannya bisa kita kendalikan. Seperti otot pada kelopak mata, otot tangan dan kaki, otot dada, otot lidah, otot pipi dsb. Otot polos dan otot jantung adalah otot yang gerakannya involunter, alias tidak bisa kita kendalikan tapi mereka bisa bergerak dengan sendirinya, seperti otot saluran pencernaan, kita hanya sadar saat mengunyah makanan, tapi nasib makanan setelah kita telan kita tidak tahu :) baru sadar bahwa usus sudah mencerna makanan kita setelah pagi harinya kita merasa mules dan harus ke kamar mandi :p.  Begitu juga dengan otot jantung (pernah mengendalikan jantung kita untuk memompa aliran darah? :p tentu tidak, they work on their own will).
Nah, yang harus kita sama-sama sangat syukuri sebagai MGers adalah, kelemahan pada MG hanya menyerang otot lurik saja, dan tidak menyerang otot jenis lainnya. Bayangkan bila kelemahan terjadi pada semua jenis otot, seperti otot usus, atau otot jantung...
            Gejala utama MG adalah kelemahan otot setelah mengeluarkan tenaga, dan akan sembuh kembali setelah istirahat. Bisa juga seperti berpola, bugar di waktu bangun pagi hari, namun semakin melemah ketika hari beranjak siang dan sore. Kelemahan ini bisa bermanifestasi sebagai rasa 'lemas' tak berdaya di bagian tubuh tertentu seperti :
- tangan (jadi sulit menulis, tidak bisa mengangkat benda agak berat, dsb)
- kaki (sering tersandung, jatuh, berjalan terhuyung-huyung)
- mata (kelopak mata 'jatuh' atau disebut ptosis, melihat benda seperti berbayang atau malah double    vision/diplopia)
- lidah (sulit atau tidak bisa menelan, bicara tidak jelas, ludah banyak)
- leher (kepala terasa berat dan mau 'jatuh')
- dada (sering disebut sebagai 'otot pernafasan', manifestasinya bervariasi, mulai dari rasa nyeri di    dada, berat menarik nafas, sesak, sampai dengan henti nafas)
- dsb 
Pada MG yang sudah lanjut kelemahan bisa terjadi sepanjang hari tanpa harus didahului pekerjaan otot terlebih dahulu.
Masya Allah...sebegitu kompleksnya Allah menciptakan penyakit ini. Kemudian, ada dorongan kuat dari dalam diriku tuk mengangkat penyakit ini dalam sebuah novel yang hendak aku tulis. Bermodal semua data tersebut dan kisah nyata dari Mbak IS menjadi modalku menulis. Semuanya mengalir begitu saja. Hingga terkumpullah naskah novel pertamaku ini dalam sebuah folder.  
Selanjutnya, Allah mempertemukanku dengan 2 orang sahabat maya yang akhirnya bertemu di kehidupan nyata dari Forum Lingkar Pena Bekasi. Mereka adalah Mbak Miyosi Ariefiansyah dan Nisa Salwa. Kami pernah nulis bareng di buku antologi berjudul Emak-Emak Fesbuker Mencari Cinta, terbitan Leutika. Support keduanya luar biasa. Membantuku supaya naskah novel ini tidak hanya teronggok dalam folder juga imajiku.
            Dalam novel ini, tidak hanya kesukaran dan kesedihan dari tokoh fiktif bernama Tasya Camilla Aritonang yang kuangkat tetapi juga kekuatan yang dimilikinya. Kekuatan jiwa yang datang dari Allah Swt yang menjadikannya tegar. Selain itu, ada sosok Arjuna Delano yang mengisi hari-hari Tasya. Ia bukan hanya pelatih badminton Tasya melainkan juga sosok calon suami ideal. Arjuna mengenalkan Tasya pada kehidupan anak-anak penderita kanker yang dikumpulkan Arjuna dalam sebuah yayasan. Hingga Tasya bertemu dengan Nayara.
            Kebiasaan indah yang sering Tasya lakukan setiap pagi yaitu menikmati embun terjadi berkat hobi ayah yang suka memelihara tanaman di halaman kecil yang sejurus dengan jendela kamar Tasya. Ayah ingin anak-anaknya bangun setiap pagi dengan perasaan bahagia melihat embun-embun yang menempel di dedaunan. Mata mereka juga akan segar melihat hijaunya tanaman dan cerah ceria memandangi bunga-bunga saat sinar matahari menerpa.
            Sebuah keindahan sederhana yang Allah berikan setiap pagi. Dan kebersamaan bersama dengan yang kita cintai adalah kehangatan yang kita perlukan.
            Wah, sudah panjang lebar aku menulis blog kali ini. Semoga nggak bosan ya bacanya. Jika teman-teman pembaca ingin merasakan kebersamaan, keindahan dan semangat perjuangan di kehidupan Tasya, segera beli novel Morning Dew and the Togetherness We Share di toko buku terdekat. Harapanku para pembaca bisa terinspirasi dan bisa lebih bersemangat menjalani kehidupan.
            Last but not least, terima kasih tak terhingga tuk teman-teman yang Allah pertemukan dengan sangat indah, keluargaku, para pembaca dan terutama para MG-ers. Kalian semua inspirasi yang tak pernah habis kugali.
            Dicintai membuat kita kuat. Mencintai membuat kita berani. Dengan mencintai Tuhan, kita akan berani menghadapi apa pun di dunia ini. Termasuk Myasthenia Gravis.
            Alhamdulillah. Wassalam. :)