Depok, 11 September
2014
Pukul delapan lebih empat puluh lima. Langkah kakiku
tergesa-gesa menuju tempat foto kopi yang tidak jauh dari rumah. Sampai di
sana, alhamdulillah...belum tutup. Mem-print lalu mem-fotokopi materi ekskul
nulis untuk 4 pekan ke depan. Ketika sedang menunggu, aku melihat-lihat pojok
mainan dalam kios itu. Banyak mainan edukasi lucu-lucu banget. Dan yang nggak
kalah menarik perhatianku adalah...stiker timbul aneka rupa. Ada bentuk
binatang, orang, kendaraan, juga tokoh kartun. Ah, stiker itu bikin aku flashback ke tahun 2008 akhir. Dimana
saat itu aku sedang menjadi close friend seorang anak berkebutuhan khusus.
Sebetulnya aku kurang setuju jika anak laki-laki itu
masuk dalam kategori anak Special Need
(SN). Pasalnya ia memiliki penamilan fisik normal, respon bicaranya baik, dan
ia dijuluki ‘preman sekolah’ karena memang kerjanya mengganggu ketentraman
teman-teman di sekitarnya. Jangan dibayangkan ia meminta paksa uang pada
teman-teman satu sekolah dan mem-bully ya, ia hanya bermain seperti biasa
tetapi ujung-ujungnya agak melukai. Emosinya sulit dikendalikan. Saat
berolahraga pun ia lebih sering mengacaukan. Bola basket sering dikuasainya
sendiri bahkan kerap disangkutkan di ujung keranjang. Pada jam pelajaran
komputer, ia lebih sering menghilang. Atau jika ada di tempat, ia menjadikan
keyboard komputer seolah-olah piano dengan ditekan-tekan kasar tuts-tutsnya. Di
kelas pun, ia sering mendapat label ‘ikan pesut’ karena ia lebih suka
mengerjakan tugas di atas karpet ketimbang duduk bersama dengan teman sekelompoknya
di bangku. Perutnya yang gendut menahan bobot tubuhnya. Lucu dan menggemaskan sebetulnya,
tapi aku sangat prihatin padanya. Ia harus berubah. Tidak bisa begini terus!
Setelah mendapat informasi dari psikolog dan gurunya di
sekolah, aku baru tahu kalau ia mengalami low intelegensia. Hal ini membuat ia
terlambat memahami kemampuan kognitif yang seharusnya sudah bisa dilakukannya
sesuai usia teman-teman sebayanya. Semacam short-term
memory syndrome. Maka, di kelas 3
SD, ia baru benar-benar bisa baca dan tulis. Meski begitu, permasalahan umum
yang diangkat dari anak laki-laki bertubuh tambun menggemaskan ini adalah
motivasi belajar.
Lalu, ia dikategorikan sebagai anak SN karena di
sekolahnya, sekolah inklusif, anak-anak dengan berbagai permasalahan baik
kognitif maupun mental serta gangguan lainnya akan berada di bawah pengawasan
satu lembaga khusus bernama LSC (Learning Support Centre). Jadi, tidak hanya
anak-anak dengan autisme atau ADHD saja yang bisa dibimbing oleh LSC. Anak
dengan motivasi belajar seperti anak kelas 6 ini, sebut saja namanya Arka, juga
termasuk di dalamnya. Ketika aku masuk, menerima challenge dari Sang Kepala Sekolah untuk bisa membimbing anak
tersebut (padahal sebelumnya akan mengajar Bahasa Inggris SD hihi), Arka hanya
punya waktu 6 bulan sebelum Ujian Nasional. Whatta?!
Senewen-lah aku dibuatnya. Arka tidak suka ia dibimbing
oleh seorang Aide Teacher. Ya, itu sebutan untuk seorang guru pembimbing anak
SN sepertiku. Bagi Arka, itu sama saja seperti melabeli dia dengan Special Need
di belakang namanya.
The war begins.
Tubuh Arka yang besar dan hampir menyamai tinggiku kerap disenggol-senggolkan
ke lenganku yang kurus. Fiuh...hampir terjatuh aku. Ia juga sering membuatku
kelelahan karena harus mencari tempat persembunyiannya saat jam komputer. Di
dalam kelas, aku dan kedua gurunya sudah sepakat kalau aku bukanlah Aide Teacher Arka melainkan guru bantu
yang ditugasi membantu wali kelas dalam mengajar karena sang wali kelas sedang
hamil. Tetap saja, Arka mencium ketidakberesan.
“Sono, nggak?! Aku bilang jauh-jauh!” Itu yang seing
diungkapkannya ketika aku kerap memberikan kertas tugas padanya. Padahal aku
sudah berpura-pura dengan membagikan kertas tugas juga pada murid lainnya.
Sering dibilang gitu tuh rasanya seperti ditolak anak sendiri. Sakitnya tuh di
sini (sambil nunjuk lengan yang suka disenggol Arka :p). Dari kedua matanya
kulihat ia sangat butuh pertolongan namun, ia malu. Maka, aku berinisiatif
mengajak Arka keluar kelas untuk bisa belajar berdua tanpa dilihat
teman-temannya. Wali kelas pun meminta Arka untuk mengerjakan tugas di luar
dengan alasan ia tidak mematuhi peraturan kelas dengan menulis sambil
tidur-tiduran di atas karpet. Sehingga harus dihukum. Meski aku tahu wali
kelasnya tidak tega melakukan itu.
Dengan senang hati Arka melenggang keluar. Duduk di anak
tangga nomor dua hanya sebentar saja. Arka lalu tiduran lagi. Aku mengikuti
gayanya tiduran. Sungguh tidak nyaman seperti itu. Beruntung lantainya bersih
karena memang tidak dilewati sepatu dan selalu dipel oleh petugas. Mungkin
karena lemak di perutku sangat sedikit dibandingkan Arka makanya badanku
kesakitan setelahnya. Hoho...Yang pasti aku hanya ingin respon dari dia gimana
kalau ada orang lain yang menirukan gaya santainya itu. Tidak perlu menunggu
lama, Arka bereaksi. “Ngapain sih, bu ikut tiduran segala? Cuma aku yang
boleh!”
Belum sempat kujawab, seorang guru yang terkenal suka
melucu lewat. “Ya ampun Arka, Bu Ulfah sampai tiduran gitu kamu bukannya malu
terus bangun malah makin menjiwai gayanya ikan pesut?”
Arka hanya nyengir.
Sudah biasa. Begitu seterusnya hari-hari yang kujalani bersama Arka. Sampai
akhirnya aku menemukan ide reward and
punishment sepeti yang dulu pernah diterapkan juga beberaa kali oleh kedua
orangtuaku di rumah. Saat berhasil mencapai target tertentu memahami satu
materi pelajaran, akan ada hadiah. Bukan hadiah besar. Namun, cukup untuk
membuat poin. Dan ketika tidak sampai target alias gagal ada hadiah yang harus
diambil atau harus mendapat punishment tertentu. Nggak berat sih hukumannya,
salah satunya bisa seperti menghapal 5-10 kata dalam Bahasa Inggris.
Bagi Arka, reward
seperti coklat nggak menarik. Begitu juga dengan alat-alat tulis seperti
pensil, pulpen, penghapus meskipun aku memilihkan bentuk yang unik-unik. Karena
Arka bisa memiliki apa saja yang dia inginkan dari kedua orangtuanya. Bahkan
orangtuanya bisa membelikan motor atau memberikan mobil untuk itu. Oke,
baiklah... Segala bentuk reward makanan tidak akan pernah diberikan lagi.
Karena khawatir Arka makin mbulet.
Begitu juga dengan stationery. Tapi...apa
ya sesuatu yang tidak atau mungkin belum pernah Arka miliki?
Ada yang terjatuh saat aku mengambil buku agenda dari
dalam tas. Arka memungutnya. Lalu...”Beli dimana bu stiker timbul kayak gini?”
Stiker timbul biasa berbentuk mobil VW itu diperhatikannya. “Dimana ya
lupa...eh tapi itu hadiah dari teman ibu ding. Kenapa memangnya, Ka?” Dia diam
tak menjawab. Kemudian...*light bulb
above my head*
“Arka mau stiker kayak gitu?” Untuk pertama kalinya Arka
tersenyum semanis itu. Belakangan aku baru sadar kalau ia memang sukanya
pernak-pernik otomotif gitu. “Kalau Arka mau, ibu bisa kasih stiker itu tiap
hari. Bentuknya nggak hanya mobil tapi juga bentuk apa aja terus ada kayak
ornamennya gitu dipinggir-pinggirnya.”
“Ornamen tu hiasan ya maksudnya?” tanya Arka. Terasa
antusias ia namun tetap dalam ke-cool-annya.
Aku mengangguk cepat. “Boleh deh bu, Arka mesti bayar berapa?”
“Kamu...bayarnya pakai tugas dari sekolah. Nanti setiap
tugas yang berhasil dikerjakan, kamu ambil stiker dari ibu satu lalu tempelin
di buku khusus yang nanti ibu siapin. Gimana?”
Ia berpikir cukup lama. Setengah jam ada lho. Akunya
kesemutan nunggu keputusannya. Gee... “Ah, nggak mau ah bu. Nanti pasti bukunya
penuh sama tulisan soal Arka yang suka tiduran-lah...suka gangguin
temen-lah...suka ngumpet-lah. Ogah! Mending Arka minta ayah suruh beliin.”
O-o...baiklah...aku mengalah. Kubilang padanya, buku itu
hanya khusus menampung koleksi stikernya. Tak ada catatan apapun. Karena aku
akan mencatatnya dalan jurnal tersendiri. Deal! Fiuh...lega. dan, metode reward and punishment ini cukup efektif
berjalan hingga Arka lolos melewati UN dengan nilai cukup baik. Dan punishment yang didapatnya, meski cukup
sering, ia semangat melakukannya. Disuruh menghapal vocabulary English. Pasalnya, ia ditantang oleh kelima kakaknya
untuk bisa cuap-cuap berbahasa Inggris. Alhamdulillah. Kalau Anda sendiri, apa
pernah menerapkan metode seperti ini pada anak-anak?
“Mba...mba...mbaaaak!”
“Eh iya, mas?”
“Bengong aja nih mbaknya. Ini udah fotokopiannya.” Ucap
tukang fotokopi sambil menyodorkan beberapa lembar kertas.
Aku menerimanya sambil meminta diambilkan stiker timbul
yang paling pojok. Rencananya sriker itu akan jadi rewards buat anak-anak ekskul menulis di sebuah Sekolah Dasar
Integral di daerah Cilodong. :)