Siapa saja anggota keluarga kita di rumah? Apakah ada kombinasi antara manusia, hewan, dan tumbuhan? Jika memang ada, aku hanya mau bilang betapa cool-nya kamu. Karena di alam terbuka saja menyatukan antara manusia, hewan, dan tumbuhan seringkali berujung pada chaos nan brutal. Belum lagi jika harus ada yang mati karena perjuangan saling mempertahankan eksistensi itu.
Judul ini aku angkat karena adabagian dari hatiku yang sedang merasa pilu. Kamu tahu nggak kenapa? Aku pilu sampai bingung harus mulai dari mana.
Oke, aku mulai dari sini saja.
Dari kecil, di rumahku itu nggak pernah memelihara hewan berbulu atau berambut (karena kalau bulu kan bercabang, sedangkan rambut tak bercabang layaknya helai-helai rambut di tubuh kita, kan?#cmiiw). Alasannya, ya tak pernah ada alasan pasti. Terjadi begitu saja. Tapi, yang jelas orangtua kami punya tetangga yang pelihara hewan-hewan berbulu. Dan mereka terlihat repot membersihkan sisi-sisi rumah yang penuh dengan rontokan bulu-bulu hewan peliharaan mereka. Di samping keseruan memiliki hewan peliharaan berbulu. Orangtua kami nggak mau terlalu repot seperti itu. Ditambah kami berprinsip, memelihara apapun harus dengan rasa tanggungjawab yang penuh. Dan tidak menyiksa orang-orang di sekitar. Karena kerap tetangga kami minta tolong ke anggota keluarganya yang lain. Tapi, akhirnya jadi ribut karena treatment mereka ke hewan-hewan itu beda.
Jadilah, di rumah kami hanya pelihara ikan atau kura-kura. Pernah labi-labi, tapi tak berumur panjang. Pernah juga kelinci yang berambut tebal dan halus. Tapi, ya gitu tak berumur panjang juga. Hanya ikan dan kura-kura yang bertahan lama. Bahkan sampai anak-anak besar dan punya kesibukan masing-masing yang sangat menyita waktu. Begitu kami serahkan perawatan hewan peliharaan sama anggota keluarga lain yang tidak biasa merawat, alhamdulillah tidak terlalu merepotkan.
Dari sini, aku selalu takjub bin kagum pada mereka yang punya hewan peliharaan berbulu seperti kucing, anjing, kelinci, musang, atau unggas. Dan mereka masih tetap akur sesama anggota keluarga, pekerjaan beres, dan tetap bisa menikmati hidup tanpa drama.
Hingga suatu hari, aku melihat dengan mata kepalaku sendiri...saat itu aku berusia 9 tahun. Orang yang kukagumi karena hewan peliharaan berbulu itu melempar satu persatu anak-anak kucing yang baru dilahirkan kucing peliharaan temanku di atas loteng. Temanku menangis sejadi-jadinya. Memohon pada ayahnya mengembalikan anak-anak kucing itu ke tengah dekapan ibunya yang masih kelelahan usai melahirkan. Aku diam, bingung, tak bisa nangis, tapi pilu di dalam hati.
Ayahnya bilang,"Anak-anak kucing itu biar ada yang mungut di situ. Kalau dibuang ke jalan, mereka masih bisa balik lagi ke sini. Udah kamu diam. Masuk sana, urusin ibunya."
Keesokan harinya, temanku bersekolah seperti biasa. Kami beda sekolah dan beda waktu kepulangan sekolah. Aku pulang lebih sore. Pulang sekolah, aku main ke rumah temanku tuk melihat keadaannya. Sungguh, ia bisa menjalani hari seperti biasa, tapi keceriaannya hilang. Numb.
Kisah lainnya, baru terjadi sekitar setahun lalu. Si mpus yang ekornya terlihat menyembul di foto yang kutaruh ini, melahirkan sekitar 8 ekor anak kucing, kalau aku tidak salah hitung. Sehari setelah melahirkan, seekor anak kucing dijual oleh tuannya ke tetangga dekat rumah kami. Dia tetangga baru yang anak-anaknya suka dengan kucing berbulu tebal dan berekor menggemaskan itu. Apalagi kucing itu senang menyambangi rumah-rumah tetangga. Dia sering menemaniku mengetik di pagi atau sore hari. Mengelilingi tempatku ndeprok nge-laptop atau makan bakso atau camilan bareng. Aku nangis saat tahu dia dipisahkan dari anaknya hanya demi uang 800 ribu rupiah. Lalu, kudengar kabar kalau anak-anaknya yang lain juga dijual ke orang-orang jauh. Padahal mereka bukan keluarga tidak mampu. Mereka hidup berkecukupan. Entah apa yang ada dalam pikiran mereka saat memisahkan ibu dan anak-anaknya.
Kalau kutanya, mereka hanya bilang," Habis berisik, Mbak Rani. Meong-meong terus rame di dalam."
How come? Bukankah kalian memelihara kucing-kucing lucu itu untuk disayangi? Dengan segala tingkah laku yang ada dalam diri mereka? Sungguh alasan yang tidak masuk akal, buatku.
Waktu pun berjalan begitu cepat. Anak kucing yang menghuni baru di samping rumahku itu senang duduk di balkon tuan barunya sambil memandangi hujan. Lalu, suatu pagi, aku baru selesai menulis. Tutup laptop, lalu aku ke kamar mandi untuk bersih-bersih sebelum istirahat sebentar setelah semalaman terjaga. Betapa kagetnya aku saat menggeser bak mandi besar, aku melihat si anak kucing berinisial C itu duduk diam dengan wajah memelas di belakang ember. Aku ajak keluar. C bergeming. Dia membuka menutup matanya saat kutatap. Sudah kupancing dengan makanan dan foto kucing dari hp, dia tetap diam. Padahal itu lantai kamar mandi basah. Rupanya dia sudah semalaman di sana. Dia masuk lewat atap dapur yang ia jebol pada siang hari. Aku memang mendengar suara seperti ada benda jatuh dari atas atap di siang hari kemarinnya. Dan aku baru sadar saat ia dibawa pulang pemiliknya. C kabur dari balkon berjalan ke atap rumahku. Dan entah bagaimana, ia berhasil menjebol atap dapur dan turun. Lalu, ia masuk bersembunyi di kamar mandi.
Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi. Tapi, satu yang pasti, hewan peliharaanmu adalah bagian dari anggota keluargamu. Bagian dari kehidupanmu yang lain. Hidup bersama hewan tidak sama dengan hidup bersama manusia. Dua bagian yang tidak sama di kehidupanmu yang sekali saja terjadi ini, masih bisa berjalan selaras jika kamu mau peduli bertindak tulus dari hati. Mereka juga butuh kamu awasi.
Maaf ya kalau tulisanku kali ini agak ke sana kemari hehe...
Aku sedih dan galau si ekor lembut nan tebal itu harus terpisah dari anak-anaknya...
Judul ini aku angkat karena adabagian dari hatiku yang sedang merasa pilu. Kamu tahu nggak kenapa? Aku pilu sampai bingung harus mulai dari mana.
Oke, aku mulai dari sini saja.
Dari kecil, di rumahku itu nggak pernah memelihara hewan berbulu atau berambut (karena kalau bulu kan bercabang, sedangkan rambut tak bercabang layaknya helai-helai rambut di tubuh kita, kan?#cmiiw). Alasannya, ya tak pernah ada alasan pasti. Terjadi begitu saja. Tapi, yang jelas orangtua kami punya tetangga yang pelihara hewan-hewan berbulu. Dan mereka terlihat repot membersihkan sisi-sisi rumah yang penuh dengan rontokan bulu-bulu hewan peliharaan mereka. Di samping keseruan memiliki hewan peliharaan berbulu. Orangtua kami nggak mau terlalu repot seperti itu. Ditambah kami berprinsip, memelihara apapun harus dengan rasa tanggungjawab yang penuh. Dan tidak menyiksa orang-orang di sekitar. Karena kerap tetangga kami minta tolong ke anggota keluarganya yang lain. Tapi, akhirnya jadi ribut karena treatment mereka ke hewan-hewan itu beda.
Jadilah, di rumah kami hanya pelihara ikan atau kura-kura. Pernah labi-labi, tapi tak berumur panjang. Pernah juga kelinci yang berambut tebal dan halus. Tapi, ya gitu tak berumur panjang juga. Hanya ikan dan kura-kura yang bertahan lama. Bahkan sampai anak-anak besar dan punya kesibukan masing-masing yang sangat menyita waktu. Begitu kami serahkan perawatan hewan peliharaan sama anggota keluarga lain yang tidak biasa merawat, alhamdulillah tidak terlalu merepotkan.
Dari sini, aku selalu takjub bin kagum pada mereka yang punya hewan peliharaan berbulu seperti kucing, anjing, kelinci, musang, atau unggas. Dan mereka masih tetap akur sesama anggota keluarga, pekerjaan beres, dan tetap bisa menikmati hidup tanpa drama.
Hingga suatu hari, aku melihat dengan mata kepalaku sendiri...saat itu aku berusia 9 tahun. Orang yang kukagumi karena hewan peliharaan berbulu itu melempar satu persatu anak-anak kucing yang baru dilahirkan kucing peliharaan temanku di atas loteng. Temanku menangis sejadi-jadinya. Memohon pada ayahnya mengembalikan anak-anak kucing itu ke tengah dekapan ibunya yang masih kelelahan usai melahirkan. Aku diam, bingung, tak bisa nangis, tapi pilu di dalam hati.
Ayahnya bilang,"Anak-anak kucing itu biar ada yang mungut di situ. Kalau dibuang ke jalan, mereka masih bisa balik lagi ke sini. Udah kamu diam. Masuk sana, urusin ibunya."
Keesokan harinya, temanku bersekolah seperti biasa. Kami beda sekolah dan beda waktu kepulangan sekolah. Aku pulang lebih sore. Pulang sekolah, aku main ke rumah temanku tuk melihat keadaannya. Sungguh, ia bisa menjalani hari seperti biasa, tapi keceriaannya hilang. Numb.
Kisah lainnya, baru terjadi sekitar setahun lalu. Si mpus yang ekornya terlihat menyembul di foto yang kutaruh ini, melahirkan sekitar 8 ekor anak kucing, kalau aku tidak salah hitung. Sehari setelah melahirkan, seekor anak kucing dijual oleh tuannya ke tetangga dekat rumah kami. Dia tetangga baru yang anak-anaknya suka dengan kucing berbulu tebal dan berekor menggemaskan itu. Apalagi kucing itu senang menyambangi rumah-rumah tetangga. Dia sering menemaniku mengetik di pagi atau sore hari. Mengelilingi tempatku ndeprok nge-laptop atau makan bakso atau camilan bareng. Aku nangis saat tahu dia dipisahkan dari anaknya hanya demi uang 800 ribu rupiah. Lalu, kudengar kabar kalau anak-anaknya yang lain juga dijual ke orang-orang jauh. Padahal mereka bukan keluarga tidak mampu. Mereka hidup berkecukupan. Entah apa yang ada dalam pikiran mereka saat memisahkan ibu dan anak-anaknya.
Kalau kutanya, mereka hanya bilang," Habis berisik, Mbak Rani. Meong-meong terus rame di dalam."
How come? Bukankah kalian memelihara kucing-kucing lucu itu untuk disayangi? Dengan segala tingkah laku yang ada dalam diri mereka? Sungguh alasan yang tidak masuk akal, buatku.
Waktu pun berjalan begitu cepat. Anak kucing yang menghuni baru di samping rumahku itu senang duduk di balkon tuan barunya sambil memandangi hujan. Lalu, suatu pagi, aku baru selesai menulis. Tutup laptop, lalu aku ke kamar mandi untuk bersih-bersih sebelum istirahat sebentar setelah semalaman terjaga. Betapa kagetnya aku saat menggeser bak mandi besar, aku melihat si anak kucing berinisial C itu duduk diam dengan wajah memelas di belakang ember. Aku ajak keluar. C bergeming. Dia membuka menutup matanya saat kutatap. Sudah kupancing dengan makanan dan foto kucing dari hp, dia tetap diam. Padahal itu lantai kamar mandi basah. Rupanya dia sudah semalaman di sana. Dia masuk lewat atap dapur yang ia jebol pada siang hari. Aku memang mendengar suara seperti ada benda jatuh dari atas atap di siang hari kemarinnya. Dan aku baru sadar saat ia dibawa pulang pemiliknya. C kabur dari balkon berjalan ke atap rumahku. Dan entah bagaimana, ia berhasil menjebol atap dapur dan turun. Lalu, ia masuk bersembunyi di kamar mandi.
Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi. Tapi, satu yang pasti, hewan peliharaanmu adalah bagian dari anggota keluargamu. Bagian dari kehidupanmu yang lain. Hidup bersama hewan tidak sama dengan hidup bersama manusia. Dua bagian yang tidak sama di kehidupanmu yang sekali saja terjadi ini, masih bisa berjalan selaras jika kamu mau peduli bertindak tulus dari hati. Mereka juga butuh kamu awasi.
Maaf ya kalau tulisanku kali ini agak ke sana kemari hehe...
Aku sedih dan galau si ekor lembut nan tebal itu harus terpisah dari anak-anaknya...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar